Ibu hamidah (depan) dan Ibu Juriah (belakang) memikul kayu bakar. |
Saat matahari tak lagi
perkasa dengan tegaknya, tampak dua ibu paruh baya berjalan di tepian dengan
memikul seonggok kayu bakar dan pelepah kelapa tua. Dua paruh baya yang
masing-masing Hamidah (45) dan Juriah (49) ini tampak bersahaja melangkahkan
kaki perlahan dengan beban yang tepat
berada di kepala mereka.
Sesekali tampak
keringat mengalir di pelipis kedua ibu pencari kayu bakar ini. Namun semangat untuk
terus membawa kayu-kayu tersebut kerumah untuk langsung dibakar sehingga mereka
bisa menyiapkan masakan untuk keluarga pun tak mampu dikalahkan oleh cucuran
demi cucuran keringat itu. Tak sekalipun mereka berniat berhenti atau
beristirahat sejenak selama perjalanan pencarian kayu bakar yang berjarak tak
kurang 1 kilometer dari kediaman kedua ibu tangguh itu.
Setibanya di rumah Ibu
Juriah dan ibu Hamidah langsung beristirahat sejenak sebelum melanjutkan
kegiatan memasak. Di kediaman yang berbahan utama kayu itu, ternyata mereka
telah mempersiapkan tempat memasak khusus yang dibuat dari seng yang kemudian
diberi pasir sebagai tempat membakar kayu, gunanya gar kayu bakr itu tak
melarat ke bagian rumah yang memank semuanya terbuat dari kayu. ” Untuk tungku
priok, kami pakai batu.” Ujar paruh baya ini bersahaja.
Dua pencari kayu yang tinggal di perkampungan
Kawal ini ternyata tak ada hubungan keluarga, namun keakraban hidup bertetangga
di daerah itu memang mencerminkan kekeluargaan yang mampu membuat decak kagum
tak ingin lari dari torehan senyum bahagia ini. Memang suasana kekerabatan itu
membuat mata ini sulit membedakan yang mana saudara dan yang mana tetangga.
Semua tampak akrab bersama kesederhanaan yang membuat mereka tak canggung dalam
bergaul serta bercanda satu sama lain.
Dengan bahasa melayu
sebagai bahasa pengantar, ibu-ibu saling lempar gurauan sambil melakukan
kegiata mereka masing-masing. Sambil mencari uban, sambil menjemur pakaian,
sambil menampi beras, hingga sambil mengopek ikan bilis kering pun ibu-ibu ini
masih sempat menyapa dan bersenda satu sama lain. Memang kondisi rumah kayu
yang saling dempet dan berhadapan dengan pelantar kayu selebar 1 meter sebagai
pemberi jarak ini sangat memungkinkan untuk
terjadi percengkeramaan akrab itu.
Ternyata bukan hanya
kaum wanita, tapi kaum pria pun tampak akrab dengan guruan demi gurauan mereka
yang tak sedikitpun melihatkan wajah kusut meski keringat telah bercampur
dengan air laut. Saat itu hari semakin pudar dan mentari semakin condong dengan
warna merah jingga yang berbaur dengan sisi gelap langit yang tak lagi tampak
biru. Tampak satu demi satu sampan nelayan berhenti dan terikat di ujung
pelantar kediaman yang penuh gurau kebahagiaan itu. Demikian juga terlihat
wajah para kesatria pencari nafkah telah tiba dirumah. Senyum senang mampu
menutupi kepenatan di hari itu. Mereka bahkan masih sempat saling ejek dengan
gurauan yang membalut tragedi perekonomian yang sulit di perkampungan itu.
“Din, cepatlah mandi, badan engkau tu bau umpan bento.” Ujar pak Aman bercanda
dengan tetangganya, begitu pula pak Udin
yang ternyata sedikitpun tak marah karena mereka yang mayoritas bekerja sebagai
nelayan ini memang sudah terbiasa dengan
candaan seperti itu.
Hingga adzan magrib
bergema, ibu Hamidah, ibu juriah dan tetangga lainnya menutup pintu dan
menghentikan sejenak aktifitas yang penuh kekerabatan itu.(Gus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar