Jumat, 13 April 2012

Senyum Tawa Pencari Kayu Bakar

Ibu hamidah (depan) dan Ibu Juriah (belakang) memikul kayu bakar.

Saat matahari tak lagi perkasa dengan tegaknya, tampak dua ibu paruh baya berjalan di tepian dengan memikul seonggok kayu bakar dan pelepah kelapa tua. Dua paruh baya yang masing-masing Hamidah (45) dan Juriah (49) ini tampak bersahaja melangkahkan kaki perlahan  dengan beban yang tepat berada di kepala mereka.

Sesekali tampak keringat mengalir di pelipis kedua ibu pencari kayu bakar ini. Namun semangat untuk terus membawa kayu-kayu tersebut kerumah untuk langsung dibakar sehingga mereka bisa menyiapkan masakan untuk keluarga pun tak mampu dikalahkan oleh cucuran demi cucuran keringat itu. Tak sekalipun mereka berniat berhenti atau beristirahat sejenak selama perjalanan pencarian kayu bakar yang berjarak tak kurang 1 kilometer dari kediaman kedua ibu tangguh  itu.

Setibanya di rumah Ibu Juriah dan ibu Hamidah langsung beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kegiatan memasak. Di kediaman yang berbahan utama kayu itu, ternyata mereka telah mempersiapkan tempat memasak  khusus yang dibuat dari seng yang kemudian diberi pasir sebagai tempat membakar kayu, gunanya gar kayu bakr itu tak melarat ke bagian rumah yang memank semuanya terbuat dari kayu. ” Untuk tungku priok, kami pakai batu.” Ujar paruh baya ini bersahaja. 

Dua  pencari kayu yang tinggal di perkampungan Kawal ini ternyata tak ada hubungan keluarga, namun keakraban hidup bertetangga di daerah itu memang mencerminkan kekeluargaan yang mampu membuat decak kagum tak ingin lari dari torehan senyum bahagia ini. Memang suasana kekerabatan itu membuat mata ini sulit membedakan yang mana saudara dan yang mana tetangga. Semua tampak akrab bersama kesederhanaan yang membuat mereka tak canggung dalam bergaul serta bercanda satu sama lain. 

Dengan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, ibu-ibu saling lempar gurauan sambil melakukan kegiata mereka masing-masing. Sambil mencari uban, sambil menjemur pakaian, sambil menampi beras, hingga sambil mengopek ikan bilis kering pun ibu-ibu ini masih sempat menyapa dan bersenda satu sama lain. Memang kondisi rumah kayu yang saling dempet dan berhadapan dengan pelantar kayu selebar 1 meter sebagai pemberi jarak  ini sangat memungkinkan untuk terjadi percengkeramaan akrab itu. 

Ternyata bukan hanya kaum wanita, tapi kaum pria pun tampak akrab dengan guruan demi gurauan mereka yang tak sedikitpun melihatkan wajah kusut meski keringat telah bercampur dengan air laut. Saat itu hari semakin pudar dan mentari semakin condong dengan warna merah jingga yang berbaur dengan sisi gelap langit yang tak lagi tampak biru. Tampak satu demi satu sampan nelayan berhenti dan terikat di ujung pelantar kediaman yang penuh gurau kebahagiaan itu. Demikian juga terlihat wajah para kesatria pencari nafkah telah tiba dirumah. Senyum senang mampu menutupi kepenatan di hari itu. Mereka bahkan masih sempat saling ejek dengan gurauan yang membalut tragedi perekonomian yang sulit di perkampungan itu. “Din, cepatlah mandi, badan engkau tu bau umpan bento.” Ujar pak Aman bercanda dengan tetangganya, begitu pula  pak Udin yang ternyata sedikitpun tak marah karena mereka yang mayoritas bekerja sebagai nelayan ini memang sudah terbiasa  dengan candaan seperti itu. 

Hingga adzan magrib bergema, ibu Hamidah, ibu juriah dan tetangga lainnya menutup pintu dan menghentikan sejenak aktifitas yang penuh kekerabatan itu.(Gus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar