Jumat, 13 April 2012

Sinopsis Film All The Presiden's Men 1976


Film All The Presiden’s Men 1976 yang dibintangi oleh Dustin Hoffman dan Robert Redford merupakan cerita nyata yang pernah terjadi di Amerika. Dalam cerita ini mereka berperan sebagai wartawan yang bekerja di  The Washington Post. Kedua wartawan ini berperan seolah seorang detektif yang sedang menyelidiki kasus korupsi di kalangan partai politik Demokrat yang justru melibatkan presiden di Negara itu, yakni Richard Nixon.

Dalam menjalankan misinya, mereka sangat telaten menyelesaikan setiap permasalahan yang justru didapat dari nara sumber yang terbilang enggan berkomentar. Bahkan mereka sering tak dibukakan pintu oleh nara sumber. Namun hal itu tak menyurutkan semangat kedua wartawan handal yang selalu tampak rapi dalam aktifitas pencarian berita ini.

Untuk mendapatkan bukti yang falid, kedua wartawan ini terpaksa membongkar dokumen demi dokumen hingga tumpukan catatan telepon. Meski sulit, tapi semua itu didasari oleh tekat untuk membongkar kebenaran yang secara sengaja ditutup-tutupi. Dan hal itu mebuat mereka tak pernah menghiraukan ancaman yang bisa membahayakan keselamatan mereka.

Alhasil mereka mampu membuktikan keterlibatan Richard Nixon dalam kasus korupsi itu yang memaksa Nixon untuk mengundurkan diri dari kursinya sebagai orang nomor satu di Negara itu.(Gus)

Senyum Tawa Pencari Kayu Bakar

Ibu hamidah (depan) dan Ibu Juriah (belakang) memikul kayu bakar.

Saat matahari tak lagi perkasa dengan tegaknya, tampak dua ibu paruh baya berjalan di tepian dengan memikul seonggok kayu bakar dan pelepah kelapa tua. Dua paruh baya yang masing-masing Hamidah (45) dan Juriah (49) ini tampak bersahaja melangkahkan kaki perlahan  dengan beban yang tepat berada di kepala mereka.

Sesekali tampak keringat mengalir di pelipis kedua ibu pencari kayu bakar ini. Namun semangat untuk terus membawa kayu-kayu tersebut kerumah untuk langsung dibakar sehingga mereka bisa menyiapkan masakan untuk keluarga pun tak mampu dikalahkan oleh cucuran demi cucuran keringat itu. Tak sekalipun mereka berniat berhenti atau beristirahat sejenak selama perjalanan pencarian kayu bakar yang berjarak tak kurang 1 kilometer dari kediaman kedua ibu tangguh  itu.

Setibanya di rumah Ibu Juriah dan ibu Hamidah langsung beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kegiatan memasak. Di kediaman yang berbahan utama kayu itu, ternyata mereka telah mempersiapkan tempat memasak  khusus yang dibuat dari seng yang kemudian diberi pasir sebagai tempat membakar kayu, gunanya gar kayu bakr itu tak melarat ke bagian rumah yang memank semuanya terbuat dari kayu. ” Untuk tungku priok, kami pakai batu.” Ujar paruh baya ini bersahaja. 

Dua  pencari kayu yang tinggal di perkampungan Kawal ini ternyata tak ada hubungan keluarga, namun keakraban hidup bertetangga di daerah itu memang mencerminkan kekeluargaan yang mampu membuat decak kagum tak ingin lari dari torehan senyum bahagia ini. Memang suasana kekerabatan itu membuat mata ini sulit membedakan yang mana saudara dan yang mana tetangga. Semua tampak akrab bersama kesederhanaan yang membuat mereka tak canggung dalam bergaul serta bercanda satu sama lain. 

Dengan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, ibu-ibu saling lempar gurauan sambil melakukan kegiata mereka masing-masing. Sambil mencari uban, sambil menjemur pakaian, sambil menampi beras, hingga sambil mengopek ikan bilis kering pun ibu-ibu ini masih sempat menyapa dan bersenda satu sama lain. Memang kondisi rumah kayu yang saling dempet dan berhadapan dengan pelantar kayu selebar 1 meter sebagai pemberi jarak  ini sangat memungkinkan untuk terjadi percengkeramaan akrab itu. 

Ternyata bukan hanya kaum wanita, tapi kaum pria pun tampak akrab dengan guruan demi gurauan mereka yang tak sedikitpun melihatkan wajah kusut meski keringat telah bercampur dengan air laut. Saat itu hari semakin pudar dan mentari semakin condong dengan warna merah jingga yang berbaur dengan sisi gelap langit yang tak lagi tampak biru. Tampak satu demi satu sampan nelayan berhenti dan terikat di ujung pelantar kediaman yang penuh gurau kebahagiaan itu. Demikian juga terlihat wajah para kesatria pencari nafkah telah tiba dirumah. Senyum senang mampu menutupi kepenatan di hari itu. Mereka bahkan masih sempat saling ejek dengan gurauan yang membalut tragedi perekonomian yang sulit di perkampungan itu. “Din, cepatlah mandi, badan engkau tu bau umpan bento.” Ujar pak Aman bercanda dengan tetangganya, begitu pula  pak Udin yang ternyata sedikitpun tak marah karena mereka yang mayoritas bekerja sebagai nelayan ini memang sudah terbiasa  dengan candaan seperti itu. 

Hingga adzan magrib bergema, ibu Hamidah, ibu juriah dan tetangga lainnya menutup pintu dan menghentikan sejenak aktifitas yang penuh kekerabatan itu.(Gus)

Senggarang, Tempat Wisata Sekaligus Ibadah


Pulau Senggarang adalah obyek wisata yang sayang untuk dilewatkan begitu saja saat berada di Tanjungpinang. Lokasi ini adalah pemukiman etnis Cina yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu di Bintan. Sampai sekarang, para penduduknya yang ramah dan masih memegang teguh adat leluhurnya serta rumah-rumahnya yang berada di pelantar atau di atas air, menjadi keunikan tersendiri yang ditawarkan oleh obyek ini.

Pulau Senggarang berseberangan dengan Tanjungpinang. Pulau Senggarang sebenarnya, tempatnya sangat nyaman untuk mencari ketenangan atau ingin menjauh dari kehidupan kota. Namun, memang kebanyakan orang yang datang dari Singapura ke Senggarang dengan tujuan untuk sembayang, sebab di Senggarang banyak kelenteng dan memang kelenteng tersebut sudah lama berada disana. Sudah beribu-ribu tahun silam lamanya. “Kalo ada hari-hari besar disini rame orang Tionghua dari macam-macam daerah.” Tutur Aleks yang tinggal di sekitar Kelenteng.

Lokasi di Senggarang ini lebih dikenal dengan pecinaannya, karena disini terdapat beberapa kelenteng, dan hampir penduduknya juga etnis tionghua dengan rumah panggung dipinggir pantai dengan penopang dari kayu ada juga yang sudah modern dengan beton tapi dilihat dari segi lingkungan lokasi ini masih terlihat primitifnya. Disini terdapat satu Kelenteng yang sangat tua karena dapat terlihat jelas disamping kelenteng tersebut terlihat pohon tua tinggi yang menjalar sampai diatar sisi kelenteng Tian Shang Miao ini. Selain itu juga terdapat kelenteng lain yang mempunyai patung Buddha seribu tangan, patung kawanan Kera Sakti, Patung Dewa Cikung, dll.

Kelenteng Sun Te Kong
Di sekitar Pulau Senggarang terdapat beragam peninggalan sejarah masyarakat Tionghua. Peninggalan sejarah itu diantaranya kelenteng, patung-patung dewa, dan kepercayaan yang ada di Pulau Senggarang. Beberapa peninggalan sejarah itu diantaranya, Kelenteng Sun Te Kong Terletak tidak jauh dari Pelabuhan Sengarang. Kelenteng yang telah berumur sekitar 300 tahun ini merupakan kelenteng tertua di Senggarang. Pendirian dan keberadaan kelenteng ini hampir bersamaan waktunya dengan pasar Sengarang. “Dulu bangunan kelentengnya masih sederhana dibanding sekarang,” Tutur Aleks. Kelenteng ini terkenal dengan sebutan kuil dewa api, masyarakat keturunan Cina yang datang ke kuil ini berdoa demi memohon kebahagiaan.
 

Kelenteng Marco
Kelenteng Marco adalah nama dewa penguasa laut yang amat ditakuti oleh orang Cina. “Menurut kepercayaan kalo melakukan sembahyangan di kelenteng ini, maka ia akan mendapat keselamatan di laut ketika sedang berlayar.” Terangnya. Kelenteng Marco terletak di antara kelenteng Sun Te Kong dan kelenteng Tay Tikong. Bentuk bangunanya lebih kecil dari kelenteng Sun Te Kong. Kelenteng ini didirikan pada abad ke-17 oleh masyarakat Cina yang mendiami senggarang. 

Kelenteng Tay Ti Kong
Kelenteng Tay Ti Kong dibangun bersamaan dengan kelenteng Marco. Letak kelenteng ini sejajar dengan kelenteng Marco, tetapi bangunannya lebih kecil dan paling ujung. Kelenteng Tay Tikong sampai sekarang masih terawat dengan baik. “Kalau Kelenteng Tay Tikong sering disebut kuil dewa bumi.” Ujar Aleks. Pada masyarakat Tionghua setempat ada kepercayaan apabila berdoa di kuil ini maka sawah mereka akan berhasil panen dengan baik, serta dapat membangun rumah.

Kelenteng Beringin
Kelenteng Beringin, letak kelenteng Beringin (tien Shang Miao) tidak jauh dari pantai. Kelenteng ini diperkirakan sudah berumur 200 tahun. Dahulu kelenteng ini merupakan sebuah rumah tempat tinggal Kapitang. Beliau adalah seorang penghulu di Desa Senggarang. Setelah jabatannya berakhir, rumah ini dijadikan tempat beribadah masyarakat Cina yang tinggal di Senggarang. Karena usianya yang sudah tua, bangunan tersebut banyak ditumbuhi pohon beringin yang menutupi atap dinding bagian luar. Oleh karena itu, kelenteng  ini disebut Kelenteng Beringin. Bangunan rumah pada saat ini sebagian telah hilang, yang tertinggal hanya sebagian saja dan digunakan sebagai tempat ibadah masyarakat keturunan Cina.

Kelenteng Anio, terletak di tengah-tengah hutan sungai Papa atau Sungai ular di Desa Kampung Bugis. Disebut Sungai Ular karena jalan menuju kelenteng ini bentuknya berkelok-kelok seperti ular. “Menurut kepercayaan orang Cina, apabila seseorang belum mendapat jodoh, sembahyangan di kelenteng ini menurut kepercayaan akan segera mendapat jodoh.” Ujar Aleks. Walaupun usia kelenteng ini sudah mencapai 200 tahun, tetapi keadaanya sampai sekarang masih terawat dengan baik. 

Vihara Dwi Sasana
Vihara Dharma Sasana  merupakan vihara tertua di Senggarang. Vihara yang dibangun pada abad ke-17 ini terletak di sebuah lereng yang tidak jauh dari kelenteng Sun Te Kong. Keadaanya sampai sekarang masih terawat dengan baik. Vihara ini merupakan tempat ibadah umat Budha yang menganut vegetarian. Vihara ini berusia 294 tahun. Rata-rata setiap 500 wisatawan, terutama dari Singapura dan Malaysia, berkunjung untuk beribadah di vihara ini. Vihara Yayasan Dharma Sasana juga menjadi daerah tujuan wisata dan beberapa kegiatan keagamaannya diagendakan Dinas Pariwisata Kota Tanjungpinang mauoun secara nasional, seperti yang berlaku pada Pulau Penyengat yang berada di seberang laut dari vihara tersebut.(Gus)