Kamis, 01 Maret 2012

Ukiran Kata


       MAKNA KETULUSAN
Namaku Roni, aku terlahir dari keluarga yang penuh dengan kecukupan. Tak satupun kekurangan yang kutemui dari keluargaku itu, karena siapapun tahu bahwa keluargaku adalah keluarga terpandang yang penuh dengan kemewahan dan dengan kemewahan itu tak ada alasan untuk tidak memenuhi setiap keinginanku.
Pagi itu, dengan jas hitam berbaur dalaman kaos putih kulangkahkan kakiku kearah ruangan yang biasanya kutempati dimana aku menggali ilmu bersama teman-temanku, namun ada yang kurang dari pandanganku kala itu, dan hal itu karena tiadanya dia, sosok wanita yang selalunya kujadikan bahan cemoohan karena statusnya yang kuanggap rendah. Bagiku orang seperti dia tak pantas menjadi mahasiswa di Universitas yang sama denganku. Begitulah sombongnya aku, karena harta aku menganggap rendah segalanya, dan karena harta pula aku merasa bisa membeli segalanya.
Detik berganti detik, waktu berlalu membauri perjalanan hidupku. Sudah empat hari kuperhatikan ruangan itu, namun sosok rendah yang semakin rendah karena kelakuanku itu tak kunjung hadir, mengundang tanda tanya yang kemudian hadir dalam benak egoku. “kemana dia? Kalau dia tak juga hadir siapa lagi yang jadi bahan cemoohanku? Ah, untuk apa aku memikirkannya, kalaupun dia ada, dia hanya akan menjadi sampah yang mengotori pemandangan dalam setiap tatapku dalam ruangan ini.” Begitulah kata-kata sombong yang selalunya kulafalkan dalam hati mengingat derajatku yang begitu tinggi dan tak mungkin diimbangi oleh derajatnya yang kupandang rendah. Kata-kata itu selalu saja mengiringi langkahku, hingga suatu ketika aku dipertemukan dengan sepucuk surat. Entah dari mana datangnya surat itu, tapi yang jelas ianya berada tepat diatas mejaku. Awalnya aku tak mahu menghiraukan surat itu, tapi tak dapat kubohongi rasa penasaran akan isi surat itu memaksaku untuk membuka perlahan surat yang kuanggap misterius itu. dalam surat itu tertera nama wanita yang belakangan ini tak kunjung menampakkan wajahnya.

“Aku Ayu
Buat kamu yang tak pernah tahu nasibku
            Aku berterima kasih karena kamu selalu mencemoohku, walaupun sakit, tapi cemoohanmu itu telah berhasil membawaku pergi meninggalkan setiap ketertekanan demi ketertekanan yang kualami dari setiap kemewahan sekitarku karena disini kesederhanaan berbaur dengan kesederhanaan, dan disini harga diri begitu berarti, tak ada yang merendahkan dan atak ada yang direndahkan.
Selamat tinggal kemewahan, selamat tinggal ketertekanan dan selamat tinggal pangeran.”

Mengetahui isi surat itu sentak aku tersadar akan sakitnya dia diatas kesenangan yang kurasa,  “huh, tapi untuk apa aku memikirkannya, toh dia memang rendah.” Kata-kata itu kembali menyamarkan jeritan nuraniku yang hampir terketuk karena selembar kertas yang tadinya tak berarti bagiku.
Waktu berlalu bersama perputaran jam yang bergerak perlahan. Tak terasa sepekan telah berakhir setelah datangnya surat itu dan selama itu pula nuraniku tak henti berkata-kata “apakah aku kejam? Apakah aku jahat? dan apakah ada ruang yang masih bisa menampung semua kesalahan demi kesalahanku, agar aku terlepas dari kesalahan yang selalu memaksaku menyakiti mereka? Tuhan, apakah aku harus terus begini? mengapa rasa bersalah ini tak kunjung pergi Tuhan?”
Aku sadar betapa bersalahnya aku terhadapnya yang selalu kuanggap rendah, namun harta selalu saja memaksaku untuk tetap angkuh dan memandang kesalahanku itu sebagai hal yang wajar dan pantas diterima oleh kalangan rendah seperti dia yang selalu kusakiti. Kadang aku berfikir untuk mengakui kesalahanku itu, namun selama kesombongan yang selalu menghantui nuraniku tak beranjak meninggalkan aku, kuyakin kesadaranku itu takkan pernah berujung dengan kebenaran dan ketenangan tanpa ada yang disakiti dan yang menyakiti.
Lamunan demi lamunan dan jeritan demi jeritan membuatku tak sadar bahwa langit telah gelap pertanda malam telah menjelang, bintang-bintang yang tampak gemerlappun membuai dan membawaku pergi meninggalkan alam nyata itu kedunia mimpi.
“Jangan, jangan bawa aku pergi!” Aku tak tahu dimana aku kala itu, tempat itu sangat asing bagiku, disitu tampak secercah cahaya terang bertentangan bersama segerombol kegelapan yang membuat cahaya itu semakin memudar. Tanganku terasa sakit ditarik oleh seorang tua yang terus memaksaku agar aku meninggalkan pemandangan aneh yang jelas berada dalam tatapanku itu. Aku mencoba berontak namun seorang tua itu sangat kuat sehingga aku tak mampu menepis genggamannya dan pasrah mengikutinya yang kemudian mempertontonkan aku kepada sosok wanita yang tak asing bagiku. Kadang ia tersenyum, dan kadang ia menangis aku bingung akan apa yang sebenarnya dirasakan oleh wanita itu, ingin rasanya aku menghampiri wanita itu dan membujuknya agar dia tersenyum tanpa diselingi isak tangis, namun seorang tua itu menahanku dan berkata “siapa yang terluka dan siapa yang melukai? Siapa yang tersenyum dan siapa yang pura-pura tersenyum? Siapa yang membuang dan siapa yang mencari?” Aku hanya terdiam mendengar kata-kata seorang tua yang lebih pantas disebut dengan teka-teki itu. Menggubrak keterpakuanku dalam diam, seorang tua itu kembali berkata, “ Kau akan mendapat jawaban dari semua itu di sebuah pedesaan kecil yang bernama Serumpun.”
Tersadar dari lelapku, mimpi itu masih teringat lekat dalam banakku. Aku yakin bahwa itu bukan sekedar bunga tidur seperti yang biasa kutemui dimalam-malam lainnya, namun itu adalah petunjuk yang menyimpan sebuah tanda tanya yang entah apa isi dari tanda tanya itu. bersama angin yang berhembus perlahan, aku bergerak pergi meninggalkan sejenak kemegahanku dengan perlengkapan seadanya. Kulangkahkan kaki ini menuju sebuah pusat keramaian, disitu aku menghampiri seorang pria yang sudah berumur, perlahan aku menyapanya.
“Pak tua, apa anda tahu dimana letak Desa Serumpun?”
“Ikuti angin berhembus dan langkahkan kakimu ke utara”
Sungguh kata-kata yang aneh, tapi aku percaya akan kata-kata dari seorang pria yang sudah berumur tersebut. Tanpa ragu aku mengawali langkahku tepat kearah utara dari posisiku berdiri kala itu, terus dan terus kutinggalkan suasana keramaian itu hingga semua suara berisik itu henyak sunyi bergantikan kicau burung dengan jalan setapak yang tidak begitu rata. Ternyata sudah cukup jauh aku melangkah, dahagapun menggodaku untuk mencari sumber air agar dapat melepas haus yang tak mungkin lagi kutahan. Disitu jelas terlihat olehku aliran sungai yang sangat menggoda, tanpa ragu aku langsung bergegas menuju sungai itu hingga, ah aku terpeleset dari lereng bukit yang dibawahnya terdapat aliran sungai itu, benturan demi benturan yang ditimbulkan karena kecelakaan tersebut membuat aku tak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku terkaku, tapi ketika mata ini tak lagi terkatup tampak sesosok wanita tua yang telah berada tepat dihadapanku kala itu.
“dimana aku?”
“tenanglah nak, jangan banyak bergerak dulu, kau belum pulih betul. Kau aman disini, ini desa Serumpun”
Ternyata benar kata-kata orang yang telah berumur itu, kini aku telah berada didesa Serumpun, meski ketibaanku kedesa ini dengan ketidak sadaran.
“ibu siapa? Dan mengapa aku berada ditempat ini”
“suami ibu menemukanmu tak sadarkan diri  dilereng bukit sebelah utara sana.”
Ya aku ingat kejadian itu, dimana aku terpeleset karena sebuah batu yang terbongkah sehingga menggoyahkan pendirianku kala itu.
“Air, aku haus”
Dengan sigap ibu itu menggambilkan segelas air yang telah disediakan diatas meja tak jauh dari pembaringanku.
“nah, minumlah nak,”
Gluk gluk gluk… kuhabiskan air itu sehingga dahagaku tak lagi menggoda.
“untuk sekarang ini jangan banyak bergerak dulu ya nak, ibu takut kau luka dalam, memar di dadamu tidak mungkin sembuh dalam sekejap.”
“kenapa dadaku bu?”
“Sepertinya kau terbentur sebuah batu yang tepat mengenai dadamu.”
“apa luka ini bisa disembuhkan?”
“entahlah, tapi kita berdo’a saja semoga luka ini lekas sembuh. Untuk sementara kau menginaplah dulu disini sampai lukamu itu benar-benar sembuh dan kau akan dirawat  oleh anak ibu.”
“Ayu.!, kemari nak!”
Mendengar nama itu aku sentak terdiam, apakah dia ayu yang ku kenal?
“Ya bu”
Sungguh wajah itu membuat lidahku kaku. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Dia, dia ternyata
sosok wanita yang selama ini kusakiti karena kesombonganku, apakah ini langkah awal untuk aku menemukan jawaban dari semua teka-teki dalam mimpiku itu?
“sekarang kau rawatlah dia, dan ingat dadanya jangan sampai terbentur benda keras”
“ya Bu”
“ya sudah, ibu tingggal kedapur dulu ya, semoga kau betah disini ya nak.”
Aku hanya terdiam dengan decak kagum akan suasana keluarga yang sungguh berhati mulia ini. Sesalkupun semakin meledak-ledak mengingat hal yang dulunya kulakukan terhadap dia yang dengan baik menerimaku, ya dia menerimaku dalam kondisiku yang tak lagi ada daya upaya.
Detik berganti menit, siang berganti malam. Tak terasa sudah tiga hari dia merawatku tanpa ada sepatah kata yang keluar dari tuturku. Pagi itu, mentari memancarkan cahayanya, langit biru yang dihiasi awan yang tampak suci dengan warnanya, serta hembusan angin sejuk beralun kicauan burung yang saling bersahut-sahutan mengundang hasrat untuk mengitari suasana desa yang masih asri dengan hijaunya itu.
“Ayu, maukah kau membawaku melihat keasrian desa ini?”
“ini hanya desa kecil roni, tiada kemegahan serta kemewahan seperti dikota sana disini”
“tidak Ayu, kemewahan itu ada karena kedamaian, dan kedamaian itu kutemui didesa ini”
Ayu tampak heran mendengar penuturanku itu, mungkin dia melihat ada yang berbeda dari sosok roni yang dia kenal dengan sosok roni yang kini tepat berada dalam tatapannya.
“jika itu yang kau inginkan, mari kita pergi mengitari suasana desa yang penuh kesederhanaan ini”
Ayu tidak berubah, meski sekarang hidupku bergantung kepada kelembutan hatinya, namun tak sedikitpun dia menampakkan raut kesombongan dari wajah tulus yang dulunya selalu kuanggap rendah itu. Kini aku sadar bahwa harta bukanlah segalanya, mungkin aku bisa membeli segalanya dengan uang, namun jika dibandingkan dengan kebahagiaan yang terlahir karena kedamaian, harta bukanlah suatu hal yang berarti bagiku. “Oh Tuhan mengapa baru sekarang kau luluhkan kesombonganku, mengapa baru sekarang Tuhan? Setelah mereka ku sakiti dengan kekuasaan yang ternyata hanyalah titipanmu.”
Ayu menuntunku perlahan, membawaku pergi meninggalkan gubuk sederhana yang menyimpan sejuta keindahan. Dalam perjalanan itu terpancar luas dalam tatapku akan hamparan hijau yang mendamaikan suasana  hati, kami berjalan menikmati fatamorgana pagi kala itu, terus kaki ini melangkah hingga kami menemui perhentian. Yah perhentian dibawah pohon yang seakan memayungi kami dari sengatan matahari.
“Ayu, maukah kau memaafkan semua kesalahanku tempo dulu?”
“sudahlah ron, itu hanya kenangan.”
“Tidak ayu, itu bukan kenangan, tapi itu kesalahan yang murni karena egoku, karena kesombonganku. Dulu aku dibutakan oleh harta, aku tak tahu betapa berartinya sosok wanita yang kini berada disebelahku. Kau ayu, kau begitu berarti bagiku, tapi aku baru menyadari semua itu setelah aku jauh dari kemewahanku, sebenarnya akulah yang rendah dan akulah yang patut direndahkan.”
Dengan sigap ayu menutup mulutku dengan dua jarinya, tampak olehku dia menggelengkan kepalanya.
“cukup roni, semua itu telah berlalu, dan kumohon jangan pernah kau bilang bahwa kau rendah, itu menyakitkan bagiku, karena walau bagaimanapun keadaanmu, kau adalah sosok yang kukagumi, kau tahu bahwa penyesalan hanya akan membawa kita dirundung murung yang entah kapan menemui perhentian, dan aku tak mau melihatmu murung, karena satu senyummu memberi kesempatan atas asa yang tak pernah mati dirundung masa”
Aku tak mengerti apa maksud dari kata-kata itu, tapi yang jelas kebahagiaan itu terasa semakin indah dengan sikap ayu yang tak sedikitpun dendam atas semua yang pernah kulakukan terhadapnya, sungguh hanya gumamanlah yang dapat kuhadirkan melihat kesucian hati yang kini ada bersamaku “sungguh mulia hatimu, kau ajari aku memaknai ketulusan, kau ajari aku memaknai keindahan dan kau ajari aku memaknai kebahagiaan.”
Banyak hal dan pelajaran yang kurenggkuh kala itu hingga ayu kembali menuntunku pulang bersama senja yang tampak kemerah-merahan.
Malam itu kesunyian menyelimuti suasana desa, entah mengapa dadaku terasa sakit yang teramat sangat, tak pernah aku merasakan sakit itu sebelumnya, ‘Tuhan, apa ini ganjaran atas semua dosa-dosaku, jika ia aku rela Tuhan, Aku ikhlas menerimanya.” Aku berfikir bahwa aku akan mati waktu itu, pandanganku semakin memudar, tak ada jeritan yang mampu kuteriakkan kala itu. Perlahan rasa sakit itu hilang dengan mataku yang telah tertutup rapat membuat semua tampak gelap.
“roni, roni bangunlah!”
Suara itu terasa samar dalam pendengaranku, apakah aku bermimpi ataukah aku sudah berada disurga, aku tak tahu. Aku merasa seorang wanita merebahkan kepalanya didadaku, suaranya terisak-isak tidak begitu jelas, dia menjerit dan menggenggam tanganku dengan sangat kuat, “jangan tingalkan aku roni, kebahagiaanku ada jika kau ada, kau yang membuatku damai, tapi mengapa kau pergi roni,? Tuhan kembalikan roni padaku” Aku hanya terdiam kaku mendengar jeritan itu, ingin rasanya kusahut teriakan itu dan bilang bahwa aku tidak pergi, tapi entah apa yang menyumbat mulutku sehingga aku tak mampu melakukan itu. semua tampak gelap disitu terlihat sosokku dari arah belakang berjalan perlahan. Entah kemana aku mau pergi? Aku seakan-akan mencari asal suara itu, “siapa dia?, mengapa dia tak menunjukkan sosoknya?, dimana asal suara itu Tuhan?” Disitu aku tampak menghentikan langkahku. Dengan duduk bersimpuh kutadahkan telapak tanganku. “Tuhan, aku hanya insan yang tak berdaya, aku berada dalam kesesatan, tuntunlah aku Tuhan, pertemukanlah aku dengan sosok yang menangisiku, jika memang ini akhir masaku, berilah aku kesempatan untuk memberi secercah kedamaian baginya yang menyayangiku.” Lalu aku kembali bangkit berjalan ditengah kegelapan, perlahan sebentuk cahaya yang tampak jauh semakin dekat dengan langkahku, cahaya itu memberi gambaran yang samar dan perlahan semakin jelas bersama mataku yang tak lagi tertutup. Ternyata tangisan itu berasal dari bibirnya yang menyimpan seribu ketulusan, bening suci itu tak henti mengalir dari sepasang perhisan diwajahnya. Ternyata hal ini nyata, bukan mimpi dan juga bukan  alam surga. Aku masih diberi kesempatan hidup. “Inikah rahasiamu Tuhan? Kau pertemukan aku kembali kepadanya yang tulus menyayangiku, kau perlihatkan aku akan tetesan air mata itu Tuhan.”
“Ayu, apa kau mau membuatku bahagia sekali lagi?”
“maksudmu?”
Suara lembut itu terdengar sendu dengan matanya yang masih berkaca-kaca.
“Aku mau mengitari pemandangan desa ini bersamamu”
“Jika itu bisa membuatmu bahagia, aku akan menuntunmu menghirup udara segar yang dihembuskan angin pedesaan ini”
Ayu menuntunku perlahan, ketulusan itu kembali kurasakan, bukan hanya dari tangisan yang tadi kudengar, namun juga dari perilakunya yang tanpa ragu menggenggam erat tanganku. Kami menghentikan langkah dimana terlihat semua keindahan desa kala itu. namun tatapku tak pernah lepas dari raut wajahnya yang tampak takut kehilangan aku. Banyak hal yang kuceritakan kepadanya waktu itu.
“Dulu waktu aku kecil, aku pernah bercita-cita untuk menjadi seorang pria yang puitis, tapi aku tak pernah mampu melafalkan kata-kata puitis itu, Entah kenapa aku tak tahu. Berkali-kali aku mencoba menafsirkan kedamaian, tapi kedamaian itu sendiri tak pernah aku rasakan, berkali kali juga aku mencoba mencari makna ketulusan, tapi ketulusan itu tak pernah mampu kuundang. Aku bingung dengan hidup, kata orang hidup adalah perjuangan, tapi mengapa perjuangan untuk hidup malah memusnahkan suatu kehidupan. Dulu aku juga sering meneteskan air mata, tapi semua itu pudar karna ketulusan yang harus menggugurkan air mata itu terbuang begitu saja tanpa ada kejelasan. Mengapa kesetiaan selalu dibalas dengan dengan luka? Mengapa kerinduan yang sekian lama harus ditemui diujung masa? Kini baru aku tahu bahwa cinta yang tulus kadang terluka tapi tak pernah melukai, cinta yang tulus akan selalu tersenyum kala suka, dan berpura tersenyum kala sakit, itu semua agar sosok yang ia cintai selalu merasa bahagia bersamanya meski ia menderita. Dan cinta yang tulus akan selalu mencari dimana ketulusan itu harus ia tuangkan, bukan membuang ketulusan yang secara nyata telah dimilikinya. Kini aku telah menemukan jawaban dari teka-teki itu Ayu, dan jawaban dari teka-teki itu adalah kau, kaulah ketulusan yang selama ini kucari.”
“maksudmu teka-teki itu?”
“ah, sudahlah itu hanya hayalanku saja”
Ayu tampak bingung dengan kata-kataku waktu itu
“ayu.”
“Ya roni”
“Jika kau hanya diberi kesempatan beberapa saat bersama orang yang kau yakin tulus menyayangimu, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku ingin berbaring dipangkuannya dan membacakan puisi cinta untuknya sambil menggengggam erat jemarinya”
“begitu saja?”
“ya, karna bagiku, jika aku dapat berbaring dipangkuannya,  dia akan melindungiku. Jika aku membacakan puisi cinta untuknya, itulah yang kata-kata yang sesungguhnya diucapkan oleh hatiku, dan jika aku menggenggam jemarinya, aku merasa yakin bahwa cinta kami berpadu tanpa celah yang dapat memisahkan”
“Maukah kau mengikuti satu permintaanku?”
“Ya, apa itu”
“Rebahkanlah kepalamu dipangkuanku, dan bacakan aku puisi cinta, serta genggamlah dengan erat jemariku”
Tanpa ragu Ayu melakukan hal yang tadinya kupinta, kini kuyakin bahwa dia benar-benar tulus menyayangiku, perlahan ayu membacakan puisi cinta untukku dengan berbaring rebah dipangkuanku, sambil memejamkan mata dan menggenggam jemariku, sangat erat. Disitu kutahu bahwa dia bahagia bersamaku.
Bahagia yang telah datang
Bahagia itu, hanyalah fatamorgana
Ketika ketulusan kini kugenggam
Bahagia itu, hanya tanda tanya
Ketika waktu tak mampu menjawabnya
Bahagia itu, bagai musim yang berganti
Kadang ia hilang dan terkadang ia menjelang
Bahagia itu, bagai mentari senja
Ia datang tiba-tiba namun pergi begitu saja
Bahagia itu,
Kini kutemukan
Bahagia itu, Kamu.
 Bagaimana roni? Kau suka puisi itu?”
Sejenak ayu terdiam
“roni?”
Tak mendengar jawabanku, ayu membuka matanya dan bangkit.
“roni..roni jangan tinggalkan aku, roni! Roni..”
Jeritan itu memecah kesunyian kala itu. meski tahu bahwa ayu pasti kembali menangis. Tapi kini aku puas, aku bisa pergi dengan tenang, karena ketulusan itu kini telah kutemukan dan aku telah mampu memberi kebahagiaan kepadanya yang tulus menyayangiku, meski hanya sesaat.

                                                                                                                        By: Agus S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar