MAKNA KETULUSAN
Namaku
Roni, aku terlahir dari keluarga yang penuh dengan kecukupan. Tak satupun
kekurangan yang kutemui dari keluargaku itu, karena siapapun tahu bahwa
keluargaku adalah keluarga terpandang yang penuh dengan kemewahan dan dengan kemewahan
itu tak ada alasan untuk tidak memenuhi setiap keinginanku.
Pagi
itu, dengan jas hitam berbaur dalaman kaos putih kulangkahkan kakiku kearah
ruangan yang biasanya kutempati dimana aku menggali ilmu bersama teman-temanku,
namun ada yang kurang dari pandanganku kala itu, dan hal itu karena tiadanya
dia, sosok wanita yang selalunya kujadikan bahan cemoohan karena statusnya yang
kuanggap rendah. Bagiku orang seperti dia tak pantas menjadi mahasiswa di
Universitas yang sama denganku. Begitulah sombongnya aku, karena harta aku
menganggap rendah segalanya, dan karena harta pula aku merasa bisa membeli
segalanya.
Detik
berganti detik, waktu berlalu membauri perjalanan hidupku. Sudah empat hari
kuperhatikan ruangan itu, namun sosok rendah yang semakin rendah karena
kelakuanku itu tak kunjung hadir, mengundang tanda tanya yang kemudian hadir
dalam benak egoku. “kemana dia? Kalau dia tak juga hadir siapa lagi yang jadi
bahan cemoohanku? Ah, untuk apa aku memikirkannya, kalaupun dia ada, dia hanya
akan menjadi sampah yang mengotori pemandangan dalam setiap tatapku dalam
ruangan ini.” Begitulah kata-kata sombong yang selalunya kulafalkan dalam hati
mengingat derajatku yang begitu tinggi dan tak mungkin diimbangi oleh
derajatnya yang kupandang rendah. Kata-kata itu selalu saja mengiringi langkahku,
hingga suatu ketika aku dipertemukan dengan sepucuk surat. Entah dari mana
datangnya surat itu, tapi yang jelas ianya berada tepat diatas mejaku. Awalnya
aku tak mahu menghiraukan surat itu, tapi tak dapat kubohongi rasa penasaran
akan isi surat itu memaksaku untuk membuka perlahan surat yang kuanggap
misterius itu. dalam surat itu tertera nama wanita yang belakangan ini tak
kunjung menampakkan wajahnya.
“Aku
Ayu
Buat
kamu yang tak pernah tahu nasibku
Aku berterima kasih karena kamu
selalu mencemoohku, walaupun sakit, tapi cemoohanmu itu telah berhasil
membawaku pergi meninggalkan setiap ketertekanan demi ketertekanan yang kualami
dari setiap kemewahan sekitarku karena disini kesederhanaan berbaur dengan
kesederhanaan, dan disini harga diri begitu berarti, tak ada yang merendahkan
dan atak ada yang direndahkan.
Selamat
tinggal kemewahan, selamat tinggal ketertekanan dan selamat tinggal pangeran.”
Mengetahui
isi surat itu sentak aku tersadar akan sakitnya dia diatas kesenangan yang
kurasa, “huh, tapi untuk apa aku
memikirkannya, toh dia memang rendah.” Kata-kata itu kembali menyamarkan
jeritan nuraniku yang hampir terketuk karena selembar kertas yang tadinya tak
berarti bagiku.
Waktu
berlalu bersama perputaran jam yang bergerak perlahan. Tak terasa sepekan telah
berakhir setelah datangnya surat itu dan selama itu pula nuraniku tak henti
berkata-kata “apakah aku kejam? Apakah aku jahat? dan apakah ada ruang yang
masih bisa menampung semua kesalahan demi kesalahanku, agar aku terlepas dari
kesalahan yang selalu memaksaku menyakiti mereka? Tuhan, apakah aku harus terus
begini? mengapa rasa bersalah ini tak kunjung pergi Tuhan?”
Aku
sadar betapa bersalahnya aku terhadapnya yang selalu kuanggap rendah, namun
harta selalu saja memaksaku untuk tetap angkuh dan memandang kesalahanku itu
sebagai hal yang wajar dan pantas diterima oleh kalangan rendah seperti dia
yang selalu kusakiti. Kadang aku berfikir untuk mengakui kesalahanku itu, namun
selama kesombongan yang selalu menghantui nuraniku tak beranjak meninggalkan
aku, kuyakin kesadaranku itu takkan pernah berujung dengan kebenaran dan
ketenangan tanpa ada yang disakiti dan yang menyakiti.
Lamunan
demi lamunan dan jeritan demi jeritan membuatku tak sadar bahwa langit telah
gelap pertanda malam telah menjelang, bintang-bintang yang tampak gemerlappun
membuai dan membawaku pergi meninggalkan alam nyata itu kedunia mimpi.
“Jangan,
jangan bawa aku pergi!” Aku tak tahu dimana aku kala itu, tempat itu sangat
asing bagiku, disitu tampak secercah cahaya terang bertentangan bersama
segerombol kegelapan yang membuat cahaya itu semakin memudar. Tanganku terasa
sakit ditarik oleh seorang tua yang terus memaksaku agar aku meninggalkan
pemandangan aneh yang jelas berada dalam tatapanku itu. Aku mencoba berontak
namun seorang tua itu sangat kuat sehingga aku tak mampu menepis genggamannya
dan pasrah mengikutinya yang kemudian mempertontonkan aku kepada sosok wanita
yang tak asing bagiku. Kadang ia tersenyum, dan kadang ia menangis aku bingung
akan apa yang sebenarnya dirasakan oleh wanita itu, ingin rasanya aku
menghampiri wanita itu dan membujuknya agar dia tersenyum tanpa diselingi isak
tangis, namun seorang tua itu menahanku dan berkata “siapa yang terluka dan
siapa yang melukai? Siapa yang tersenyum dan siapa yang pura-pura tersenyum?
Siapa yang membuang dan siapa yang mencari?” Aku hanya terdiam mendengar
kata-kata seorang tua yang lebih pantas disebut dengan teka-teki itu. Menggubrak
keterpakuanku dalam diam, seorang tua itu kembali berkata, “ Kau akan mendapat
jawaban dari semua itu di sebuah pedesaan kecil yang bernama Serumpun.”
Tersadar
dari lelapku, mimpi itu masih teringat lekat dalam banakku. Aku yakin bahwa itu
bukan sekedar bunga tidur seperti yang biasa kutemui dimalam-malam lainnya,
namun itu adalah petunjuk yang menyimpan sebuah tanda tanya yang entah apa isi
dari tanda tanya itu. bersama angin yang berhembus perlahan, aku bergerak pergi
meninggalkan sejenak kemegahanku dengan perlengkapan seadanya. Kulangkahkan
kaki ini menuju sebuah pusat keramaian, disitu aku menghampiri seorang pria
yang sudah berumur, perlahan aku menyapanya.
“Pak
tua, apa anda tahu dimana letak Desa Serumpun?”
“Ikuti
angin berhembus dan langkahkan kakimu ke utara”
Sungguh
kata-kata yang aneh, tapi aku percaya akan kata-kata dari seorang pria yang
sudah berumur tersebut. Tanpa ragu aku mengawali langkahku tepat kearah utara
dari posisiku berdiri kala itu, terus dan terus kutinggalkan suasana keramaian
itu hingga semua suara berisik itu henyak sunyi bergantikan kicau burung dengan
jalan setapak yang tidak begitu rata. Ternyata sudah cukup jauh aku melangkah,
dahagapun menggodaku untuk mencari sumber air agar dapat melepas haus yang tak
mungkin lagi kutahan. Disitu jelas terlihat olehku aliran sungai yang sangat
menggoda, tanpa ragu aku langsung bergegas menuju sungai itu hingga, ah aku
terpeleset dari lereng bukit yang dibawahnya terdapat aliran sungai itu,
benturan demi benturan yang ditimbulkan karena kecelakaan tersebut membuat aku
tak sadarkan diri.
Entah
berapa lama aku terkaku, tapi ketika mata ini tak lagi terkatup tampak sesosok
wanita tua yang telah berada tepat dihadapanku kala itu.
“dimana
aku?”
“tenanglah
nak, jangan banyak bergerak dulu, kau belum pulih betul. Kau aman disini, ini
desa Serumpun”
Ternyata
benar kata-kata orang yang telah berumur itu, kini aku telah berada didesa
Serumpun, meski ketibaanku kedesa ini dengan ketidak sadaran.
“ibu
siapa? Dan mengapa aku berada ditempat ini”
“suami
ibu menemukanmu tak sadarkan diri dilereng
bukit sebelah utara sana.”
Ya
aku ingat kejadian itu, dimana aku terpeleset karena sebuah batu yang
terbongkah sehingga menggoyahkan pendirianku kala itu.
“Air,
aku haus”
Dengan
sigap ibu itu menggambilkan segelas air yang telah disediakan diatas meja tak
jauh dari pembaringanku.
“nah,
minumlah nak,”
Gluk
gluk gluk… kuhabiskan air itu sehingga dahagaku tak lagi menggoda.
“untuk
sekarang ini jangan banyak bergerak dulu ya nak, ibu takut kau luka dalam,
memar di dadamu tidak mungkin sembuh dalam sekejap.”
“kenapa
dadaku bu?”
“Sepertinya
kau terbentur sebuah batu yang tepat mengenai dadamu.”
“apa
luka ini bisa disembuhkan?”
“entahlah,
tapi kita berdo’a saja semoga luka ini lekas sembuh. Untuk sementara kau menginaplah
dulu disini sampai lukamu itu benar-benar sembuh dan kau akan dirawat oleh anak ibu.”
“Ayu.!,
kemari nak!”
Mendengar
nama itu aku sentak terdiam, apakah dia ayu yang ku kenal?
“Ya
bu”
Sungguh
wajah itu membuat lidahku kaku. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Dia, dia
ternyata
sosok
wanita yang selama ini kusakiti karena kesombonganku, apakah ini langkah awal
untuk aku menemukan jawaban dari semua teka-teki dalam mimpiku itu?
“sekarang
kau rawatlah dia, dan ingat dadanya jangan sampai terbentur benda keras”
“ya
Bu”
“ya
sudah, ibu tingggal kedapur dulu ya, semoga kau betah disini ya nak.”
Aku
hanya terdiam dengan decak kagum akan suasana keluarga yang sungguh berhati
mulia ini. Sesalkupun semakin meledak-ledak mengingat hal yang dulunya
kulakukan terhadap dia yang dengan baik menerimaku, ya dia menerimaku dalam
kondisiku yang tak lagi ada daya upaya.
Detik
berganti menit, siang berganti malam. Tak terasa sudah tiga hari dia merawatku
tanpa ada sepatah kata yang keluar dari tuturku. Pagi itu, mentari memancarkan
cahayanya, langit biru yang dihiasi awan yang tampak suci dengan warnanya,
serta hembusan angin sejuk beralun kicauan burung yang saling bersahut-sahutan
mengundang hasrat untuk mengitari suasana desa yang masih asri dengan hijaunya itu.
“Ayu,
maukah kau membawaku melihat keasrian desa ini?”
“ini
hanya desa kecil roni, tiada kemegahan serta kemewahan seperti dikota sana
disini”
“tidak
Ayu, kemewahan itu ada karena kedamaian, dan kedamaian itu kutemui didesa ini”
Ayu
tampak heran mendengar penuturanku itu, mungkin dia melihat ada yang berbeda
dari sosok roni yang dia kenal dengan sosok roni yang kini tepat berada dalam
tatapannya.
“jika
itu yang kau inginkan, mari kita pergi mengitari suasana desa yang penuh
kesederhanaan ini”
Ayu
tidak berubah, meski sekarang hidupku bergantung kepada kelembutan hatinya,
namun tak sedikitpun dia menampakkan raut kesombongan dari wajah tulus yang
dulunya selalu kuanggap rendah itu. Kini aku sadar bahwa harta bukanlah
segalanya, mungkin aku bisa membeli segalanya dengan uang, namun jika
dibandingkan dengan kebahagiaan yang terlahir karena kedamaian, harta bukanlah
suatu hal yang berarti bagiku. “Oh Tuhan mengapa baru sekarang kau luluhkan
kesombonganku, mengapa baru sekarang Tuhan? Setelah mereka ku sakiti dengan
kekuasaan yang ternyata hanyalah titipanmu.”
Ayu
menuntunku perlahan, membawaku pergi meninggalkan gubuk sederhana yang
menyimpan sejuta keindahan. Dalam perjalanan itu terpancar luas dalam tatapku
akan hamparan hijau yang mendamaikan suasana
hati, kami berjalan menikmati fatamorgana pagi kala itu, terus kaki ini
melangkah hingga kami menemui perhentian. Yah perhentian dibawah pohon yang
seakan memayungi kami dari sengatan matahari.
“Ayu,
maukah kau memaafkan semua kesalahanku tempo dulu?”
“sudahlah
ron, itu hanya kenangan.”
“Tidak
ayu, itu bukan kenangan, tapi itu kesalahan yang murni karena egoku, karena
kesombonganku. Dulu aku dibutakan oleh harta, aku tak tahu betapa berartinya
sosok wanita yang kini berada disebelahku. Kau ayu, kau begitu berarti bagiku,
tapi aku baru menyadari semua itu setelah aku jauh dari kemewahanku, sebenarnya
akulah yang rendah dan akulah yang patut direndahkan.”
Dengan
sigap ayu menutup mulutku dengan dua jarinya, tampak olehku dia menggelengkan
kepalanya.
“cukup
roni, semua itu telah berlalu, dan kumohon jangan pernah kau bilang bahwa kau
rendah, itu menyakitkan bagiku, karena walau bagaimanapun keadaanmu, kau adalah
sosok yang kukagumi, kau tahu bahwa penyesalan hanya akan membawa kita
dirundung murung yang entah kapan menemui perhentian, dan aku tak mau melihatmu
murung, karena satu senyummu memberi kesempatan atas asa yang tak pernah mati
dirundung masa”
Aku
tak mengerti apa maksud dari kata-kata itu, tapi yang jelas kebahagiaan itu
terasa semakin indah dengan sikap ayu yang tak sedikitpun dendam atas semua
yang pernah kulakukan terhadapnya, sungguh hanya gumamanlah yang dapat
kuhadirkan melihat kesucian hati yang kini ada bersamaku “sungguh mulia hatimu,
kau ajari aku memaknai ketulusan, kau ajari aku memaknai keindahan dan kau
ajari aku memaknai kebahagiaan.”
Banyak
hal dan pelajaran yang kurenggkuh kala itu hingga ayu kembali menuntunku pulang
bersama senja yang tampak kemerah-merahan.
Malam
itu kesunyian menyelimuti suasana desa, entah mengapa dadaku terasa sakit yang
teramat sangat, tak pernah aku merasakan sakit itu sebelumnya, ‘Tuhan, apa ini
ganjaran atas semua dosa-dosaku, jika ia aku rela Tuhan, Aku ikhlas
menerimanya.” Aku berfikir bahwa aku akan mati waktu itu, pandanganku semakin
memudar, tak ada jeritan yang mampu kuteriakkan kala itu. Perlahan rasa sakit
itu hilang dengan mataku yang telah tertutup rapat membuat semua tampak gelap.
“roni,
roni bangunlah!”
Suara
itu terasa samar dalam pendengaranku, apakah aku bermimpi ataukah aku sudah
berada disurga, aku tak tahu. Aku merasa seorang wanita merebahkan kepalanya
didadaku, suaranya terisak-isak tidak begitu jelas, dia menjerit dan
menggenggam tanganku dengan sangat kuat, “jangan tingalkan aku roni,
kebahagiaanku ada jika kau ada, kau yang membuatku damai, tapi mengapa kau
pergi roni,? Tuhan kembalikan roni padaku” Aku hanya terdiam kaku mendengar
jeritan itu, ingin rasanya kusahut teriakan itu dan bilang bahwa aku tidak
pergi, tapi entah apa yang menyumbat mulutku sehingga aku tak mampu melakukan
itu. semua tampak gelap disitu terlihat sosokku dari arah belakang berjalan
perlahan. Entah kemana aku mau pergi? Aku seakan-akan mencari asal suara itu,
“siapa dia?, mengapa dia tak menunjukkan sosoknya?, dimana asal suara itu
Tuhan?” Disitu aku tampak menghentikan langkahku. Dengan duduk bersimpuh
kutadahkan telapak tanganku. “Tuhan, aku hanya insan yang tak berdaya, aku
berada dalam kesesatan, tuntunlah aku Tuhan, pertemukanlah aku dengan sosok
yang menangisiku, jika memang ini akhir masaku, berilah aku kesempatan untuk
memberi secercah kedamaian baginya yang menyayangiku.” Lalu aku kembali bangkit
berjalan ditengah kegelapan, perlahan sebentuk cahaya yang tampak jauh semakin
dekat dengan langkahku, cahaya itu memberi gambaran yang samar dan perlahan
semakin jelas bersama mataku yang tak lagi tertutup. Ternyata tangisan itu
berasal dari bibirnya yang menyimpan seribu ketulusan, bening suci itu tak
henti mengalir dari sepasang perhisan diwajahnya. Ternyata hal ini nyata, bukan
mimpi dan juga bukan alam surga. Aku
masih diberi kesempatan hidup. “Inikah rahasiamu Tuhan? Kau pertemukan aku
kembali kepadanya yang tulus menyayangiku, kau perlihatkan aku akan tetesan air
mata itu Tuhan.”
“Ayu,
apa kau mau membuatku bahagia sekali lagi?”
“maksudmu?”
Suara
lembut itu terdengar sendu dengan matanya yang masih berkaca-kaca.
“Aku
mau mengitari pemandangan desa ini bersamamu”
“Jika
itu bisa membuatmu bahagia, aku akan menuntunmu menghirup udara segar yang
dihembuskan angin pedesaan ini”
Ayu
menuntunku perlahan, ketulusan itu kembali kurasakan, bukan hanya dari tangisan
yang tadi kudengar, namun juga dari perilakunya yang tanpa ragu menggenggam
erat tanganku. Kami menghentikan langkah dimana terlihat semua keindahan desa
kala itu. namun tatapku tak pernah lepas dari raut wajahnya yang tampak takut
kehilangan aku. Banyak hal yang kuceritakan kepadanya waktu itu.
“Dulu
waktu aku kecil, aku pernah bercita-cita untuk menjadi seorang pria yang
puitis, tapi aku tak pernah mampu melafalkan kata-kata puitis itu, Entah kenapa
aku tak tahu. Berkali-kali aku mencoba menafsirkan kedamaian, tapi kedamaian
itu sendiri tak pernah aku rasakan, berkali kali juga aku mencoba mencari makna
ketulusan, tapi ketulusan itu tak pernah mampu kuundang. Aku bingung dengan
hidup, kata orang hidup adalah perjuangan, tapi mengapa perjuangan untuk hidup
malah memusnahkan suatu kehidupan. Dulu aku juga sering meneteskan air mata,
tapi semua itu pudar karna ketulusan yang harus menggugurkan air mata itu
terbuang begitu saja tanpa ada kejelasan. Mengapa kesetiaan selalu dibalas
dengan dengan luka? Mengapa kerinduan yang sekian lama harus ditemui diujung
masa? Kini baru aku tahu bahwa cinta yang tulus kadang terluka tapi tak pernah
melukai, cinta yang tulus akan selalu tersenyum kala suka, dan berpura
tersenyum kala sakit, itu semua agar sosok yang ia cintai selalu merasa bahagia
bersamanya meski ia menderita. Dan cinta yang tulus akan selalu mencari dimana ketulusan
itu harus ia tuangkan, bukan membuang ketulusan yang secara nyata telah
dimilikinya. Kini aku telah menemukan jawaban dari teka-teki itu Ayu, dan
jawaban dari teka-teki itu adalah kau, kaulah ketulusan yang selama ini
kucari.”
“maksudmu
teka-teki itu?”
“ah,
sudahlah itu hanya hayalanku saja”
Ayu
tampak bingung dengan kata-kataku waktu itu
“ayu.”
“Ya
roni”
“Jika
kau hanya diberi kesempatan beberapa saat bersama orang yang kau yakin tulus
menyayangimu, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku
ingin berbaring dipangkuannya dan membacakan puisi cinta untuknya sambil
menggengggam erat jemarinya”
“begitu
saja?”
“ya,
karna bagiku, jika aku dapat berbaring dipangkuannya, dia akan melindungiku. Jika aku membacakan
puisi cinta untuknya, itulah yang kata-kata yang sesungguhnya diucapkan oleh
hatiku, dan jika aku menggenggam jemarinya, aku merasa yakin bahwa cinta kami
berpadu tanpa celah yang dapat memisahkan”
“Maukah
kau mengikuti satu permintaanku?”
“Ya,
apa itu”
“Rebahkanlah
kepalamu dipangkuanku, dan bacakan aku puisi cinta, serta genggamlah dengan
erat jemariku”
Tanpa
ragu Ayu melakukan hal yang tadinya kupinta, kini kuyakin bahwa dia benar-benar
tulus menyayangiku, perlahan ayu membacakan puisi cinta untukku dengan
berbaring rebah dipangkuanku, sambil memejamkan mata dan menggenggam jemariku,
sangat erat. Disitu kutahu bahwa dia bahagia bersamaku.
“Bahagia yang telah datang
Bahagia itu, hanyalah fatamorgana
Ketika ketulusan kini kugenggam
Bahagia itu, hanya tanda tanya
Ketika waktu tak mampu menjawabnya
Bahagia itu, bagai musim yang
berganti
Kadang ia hilang dan terkadang ia
menjelang
Bahagia itu, bagai mentari senja
Ia datang tiba-tiba namun pergi
begitu saja
Bahagia itu,
Kini kutemukan
Bahagia itu, Kamu.
Bagaimana roni? Kau suka puisi itu?”
Sejenak
ayu terdiam
“roni?”
Tak
mendengar jawabanku, ayu membuka matanya dan bangkit.
“roni..roni
jangan tinggalkan aku, roni! Roni..”
Jeritan
itu memecah kesunyian kala itu. meski tahu bahwa ayu pasti kembali menangis.
Tapi kini aku puas, aku bisa pergi dengan tenang, karena ketulusan itu kini
telah kutemukan dan aku telah mampu memberi kebahagiaan kepadanya yang tulus
menyayangiku, meski hanya sesaat.
By:
Agus S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar